27 April 2014

Cerita : Tentang Pendidikan Pelajar

Sumber
Saya masih ingat dulu ketika pertama kali masuk Sekolah Dasar (SD), sebenarnya saya tidak diterima. Ini terjadi karena umur saya belum mencukupi untuk dikategorikan sebagai pelajar SD. Pada waktu itu saya baru saja genap berumur 5 tahun, dan di daerah saya anak yang bisa masuk SD harus berumur 6 tahun atau lebih. 

Disitu orang tua saya berpikir bagaimana caranya agar saya tetap bisa sekolah. Hingga pada akhirnya tercetuslah ide yang sebenarnya ilegal namun supaya bisa membuat saya diterima, mereka lakukan juga. Akte kelahiran saya yang sebenarnya lahir pada tahun 1995, diubah orang tua menjadi tahun 1994. Saya lupa bagaimana bisa mereka melakukan itu, yang saya ingat akhirnya saya diterima sebagai pelajar SD tahun itu.

Sebenarnya saya tidak tahu apa sebenarnya makna dari kebijakan bahwa anak di bawah 6 tahun belum boleh memasuki dunia sekolah. Bagaimana kalau anak-anak di bawah umur 6 tahun malah lebih pintar dibanding anak-anak di atas 6 tahun? Itulah sebuah pertanyaan besar yang menggelayut di saat saya masih berada di bangku SD.

Saya tidak tahu apa sekarang kebijakan itu masih ada atau tidak, menurut saya umur tidak selalu menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam sebuah kebijakan.


Yap, mungkin itu sebagai intro dari postingan saya kali ini. Kepanjangan ya? Hehehe, maap kelabasan. Sebenarnya saya ingin membahas tentang sistem pendidikan di Indonesia yang pernah saya rasakan dari zaman SD hingga zaman SMA. So, tunggu apalagi! Mari kita bahas!



Berawal dari masa-masa berada di bangku SD, banyak hal yang telah saya dapatkan selama 6 tahun. Namun yang begitu berarti mungkin tak terlalu banyak. Saya hanya ingat beberapa kejadian yang masih melekat di memori, salah satunya yaitu fakta bahwa saya tak pernah menduduki 10 besar selama 6 tahun. Agak aneh rasanya, karena semenjak kelas 1 hingga kelas 6 anak-anak yang menduduki peringkat 3 besar itu hanya yang itu-itu aja.

Saya tidak tahu mengapa, apakah hanya sebuah kebetulan atau tidak, tapi sepertinya memang mereka mempunyai kepintaran yang tidak sebanding dengan saya. Saya juga ingat bahwa dulu banyak mata pelajaran di sekolah diajar oleh guru yang sama. Seperti matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dll saya lahap dengan penyaji yang sama. Mungkin karena pelajaran anak SD tidak begitu sulit mangkanya gurunya juga tidak spesifikasikan satu-satu seperti di SMP atau di SMA.

Setelah pendidikan SD berakhir, akhirnya saya memutuskan untuk merantau jauh dari orang tua. Saya melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren yang kira-kira jauhnya 2 jam dari rumah. Awalnya, saya merasa takut sendirian di tempat yang jauh namun lama-kelamaan saya bisa menjadi seorang anak yang mandiri.

Pada masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) prestasi yang saya dapatkan tidak sedatar sewaktu SD. Jika sewaktu SD mendapat peringkat 10 besar saja tak pernah saya cicipi, di SMP saya begitu terkejut mengetahui bahwa pada semester pertama saya bisa menduduki peringkat keempat. Bahkan pada semester kedua di kelas satu saya bisa menduduki peringkat pertama. Hal ini tentu membuat saya berpikir apa yang terjadi.

Setelah saya telaah, ternyata sewaktu di pesantren banyak mata pelajaran yang harus memakai sistem penghapalan. Seperti contohnya saja hadits, fiqh, al-quran hadist, atau hapalan ayat suci Al-quran. Yang anehnya dengan ditambahkannya mata pelajaran islami dalam pendidikan, tidak menjadi suatu kendala, malah membuat saya bisa meraih prestasi yang cukup bagus. 

Padahal jika dihitung bisa mencapai 25 mata pelajaran yang saya pelajari selama satu semester. Dari sanalah saya mengetahui bahwa saya mempunyai sedikit kelebihan dalam hal hapalan. Saya bisa dikategorikan memiliki daya ingat yang cukup bagus untuk pelajaran yang memang harus dituntut untuk menghapal.

Kemudian setelah tiga tahun duduk di bangku SMP saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda. Namun memiliki kesamaan dengan tempat sebelumnya, yaitu sama-sama tinggal di asrama. Ada suatu hal yang membuat saya terperangah dikala dinyatakan lulus di sekolah unggul itu. Ternyata teman-teman saya yang dahulunya tak pernah absen menduduki 3 besar di SD, satu sekolah kembali dengan saya.

What a Fantastic Moment! Bagaimana bisa saya yang sewaktu SD sering tidak dianggap ada tiba-tiba saja ditakdirkan satu sekolah dengan para sang juara. Kala itu saya berpikir bahwa Tuhan memang sudah menakdirkan saya untuk sekolah disana. Diantara berbagai jawara dari satu provinsi berkumpul disana, saya cukup bisa mengimbangi mereka.

Walaupun kembali tidak begitu menonjol, saya bisa mendapatkan menikmati masa SMA dengan begitu bermanfaat. Bagaimana tidak, disana saya dikelilingi oleh orang-orang pintar yang memacu saya untuk selalu belajar dan terus belajar. Mungkin bisa dikatakan tidak ada hari tanpa memegang buku. Apalagi ditambah dengan tidak diperbolehkannya kami membawa barang-barang elektronik seperti Hp.

Setelah 3 tahun berhasil berjuang disana, akhirnya saya bisa menuntaskan wajib belajar selama 12 tahun. Jika ditanyakan apa ilmu yang telah kamu dapatkan selama itu? Saya mungkin akan bingung untuk menjawabnya. Karena dengan begitu banyak mata pelajaran bagaimana bisa saya mahir di suatu bidang. Saya tahu semuanya namun hanya dasar-dasar dari tiap-tiap pelajaran saja.

Jadi jika boleh berpendapat, saya ingin memberi masukan untuk pengelola pendidikan di negara ini :

1. Ilmu yang diajarkan mungkin bisa ditata ulang kembali. Maksud saya mungkin boleh-boleh saja menyuuguhkan pelajar dengan berbagai bidang pelajar semasa SD atau SMP. Namun di SMA seharusnya disortir kembali pelajaran yang menjadi minat dan bakat dari tiap-tiap pelajar. Sehingga sewaktu kuliah calon mahasiswa tidak ragu lagi mengambil kosentrasi di suatu bidang.

2. Ujian untuk menentukan segalanya tampaknya banyak disalahgunakan oleh para pelajar. Bagaimana tidak, ujian yang menjadi tolak ukur pelajar dijadikan ajang untuk memperebutkan kursi di bangku kuliah. Jadi pelajar akan didera rasa ketakutan ketika nilai ujian mereka tidak memuaskan.

3. Adanya pendidikan karakter yang serius. Bagi saya ini sangat penting melihat begitu banyaknya kejahatan yang telah dilakukan oleh para pelajar. Sekolah harusnya mampu menjadi tempat bagi siswa untuk memperbaiki sikap dan melatih sportivitas. Tidak hanya dituntut mampu dalam bidang akademis saja, namun karakter juga harus diperhatikan.

4. Terburu-buru dalam mengajar karena mengejar target yang ditetapkan kurikulum juga menjadi masalah bagi saya dulu ketika menjadi seorang pelajar. Seorang guru begitu cepat menjelaskan, bahkan satu bab dalam 2 jam harus dilahap demi mengejar target. Menurut saya ini sangat tidak efisien, seharusnya pendidikan di Indonesia jangan hanya berpatokan pada kurikulum saja namun juga harus menyeimbangkan dengan kemampuan pelajar.

5. Kebanyakan guru masih ada yang sangat meletakkan nilai diatas segala-galanya. Sehingga banyak pelajar yang menghalalkan berbagai cara demi meraih nilai yang diharapkan oleh guru. Selain itu pelajar juga belum aktif dalam memperoleh pelajaran, kebanyakan pelajar hanya pasif mendengarkan guru mengajar.

6. Sistem pendidikan jangan pernah mampu dibeli dengan uang. Banyak kejadian di luar sana yang bisa menyogok staf di sekolah demi menyelesaikan sebuah kasus atau untuk menyelamatkan anak mereka. Pemerintah seharusnya mampu bertindak tegas dalam berbagai hal yang berbau seperti itu.


Dibalik itu semua, yang terpenting adalah bagaimana mendidik karakter dari para pemuda yang akan melanjutkan kepemimpinan di negeri ini. Walaupun ia pintar namun jika tidak pernah disuguhi dengan bagaimana cara bertindak yang baik, bagaimana buruknya mencontek itu, maka tetap saja kita belum bisa menjadi bangsa baru yang mampu mengangkat negri ini.


1 komentar:

  1. Intronya hampir sama dengan cerita saya. Bedanya, usia saya dituakan 2 (dua) tahun untuk bisa ikut persamaan ujian SD—karena saya hanya sampai kelas 3.

    BalasHapus

Kalau ada yang mau disampaikan tinggalkan comment ya ^^ Thank you :)