19 April 2014

Terpendam Part #2

Hari kelabu itu akhirnya datang juga. Perpisahan yang dengan arogannya datang untuk memisahkanku dengannya. Aku menatap lekat kedua bola matanya. Kami hanya membisu. Saling menerjemahkan bahasa satu sama lain melalui tatapan mata, helaan napas, dan degupan jantung. Aku tak tau harus berkata apa, aku hanya menunggu Steven untuk mulai berbicara.

Kurasa dia gugup ketika hendak memulai pembicaraan. Akhirnya suara muncul juga dari mulutnya.
  

“Ada yang mau kamu sampaikan, Sa?” Dia bertanya dengan senyum yang begitu teduh.

Aku tak tau apakah dia bisa membaca pikiranku selama ini. Tapi entah kenapa pertanyaanya kepadaku kali ini seakan-akan memberikanku ruang untuk segera mengatakan semua yang telah kupendam. Namun hati dan mulutku kembali tak sejalan.

Pikiranku kembali berekspektasi bahwa jika aku mengatakan bagaimana perasaanku sebenarnya, itu hanya akan menjadi pengungkapan yang sia-sia. Kini aku akan pergi, dan kukira rasa itupun harus pergi meninggalkan kita berdua. Aku meyakinkan diri bahwa rasa ini akan bisa terkikis seiring lapuknya waktu.

Aku hanya bisa menjawab.


“Gak ada, Stev.” ucapku singkat.


Setelah itu aku pergi meninggalkan hidupnya dan tak lagi bertemu dengannya sampai dua tahun lamanya. Momen perpisahan terakhir itu sangat menyakitkan bagiku. Tak ada dari kami yang mengucapkan kalimat perpisahan atau semacamnya. Kulihat hanya ada perasaan yang berusaha untuk kami buang sejauh-jauhnya, pergi menjauh ke tempat yang tak terlihat hingga terlupa akan kehadirannya.
  
Aku tak tau bagaimana perasaannya kepadaku saat itu. Masih tertinggalkah rasa untukku atau sudah terhapus beriringan dengan menghilangnya aku di kehidupannya. Kami seakan-akan menghilangkan semuanya. Mengganggap bahwa percakapan di taman itu tidak pernah terjadi. Tapi sungguh, aku merasa sakit. Aku menyesal. Apa aku terlambat untuk mengatakan bagaimana perasaanku sebenarnya. Apa sepenuhnya kesalahan berada di pihakku? Namun jika iya,  bukankah cinta butuh waktu?
***

  
‘Kling...’

Nada handphoneku berbunyi seraya membuyarkan lamunanku tentangmu. Tampak di layar hp blackberry biruku ada tanda bahwa ada pesan bbm untukku. Kubuka perlahan icon bbm dan mendapati bahwa kamu tak lagi menanggapi soal statusku bbmku. Kamu bertanya tentang hal lain di hidupku. Hal yang membuat hatiku begitu perih untuk memikirkannya. 

Ternyata kamu masih mengharapkan kehadiranku untuk segera pulang. Pulang ke tempat kita dulu pernah bersama. Sungguh, aku sakit ketika memikirkan bahwa tak ada kepastian yang bisa kuberikan padamu. Aku tak tau kapan bisa kembali. Aku hanya bisa memberikan jawaban palsu yang kubuat-buat sendiri.

Kamu terus membuatku begitu rindu menatap wajahmu. Kamu terus menderaku dengan pertanyaan,”Bagaimana perkembangan tulisanmu,Sa? Masih sering nulis kan?”Ah, sungguh Stev, aku tak tau lagi harus berkata apa. Jika ragamu bisa hadir di sisiku, kupercaya bahwa aku tak lagi kehilangan ide untuk membuat cerpen atau puisi yang selalu kau puji itu.


Aku terus berusaha untuk menetralisir denyut jantungku. Kamu sama sekali tidak menuliskan kata-kata romantis kepadaku, tapi entah mengapa denyut di dada ini berdetak tak beraturan. Hingga pada percakapan selanjutnya, aku benar-benar terdiam. Tak sanggup meneruskan percakapan ini. “Nisa sekarang gimana?”
  
Sebenarnya aku langsung mengerti  jawaban apa yang kamu butuhkan. Lagi-lagi aku hanya berusaha untuk membuat semuanya baik-baik saja, hingga tak ada lagi yang perlu diresahkan. Aku menjawab pesanmu seakan-akan tidak mengerti dengan pertanyaanmu. Padahal, sungguh aku tau. Aku sangat mengerti maksudmu. Aku hanya pura-pura tidak tahu, agar aku tak terjerumus dalam kenangan itu.

Aku menjawab seadanya kepadamu, bahwa aku masih seperti yang dulu, hanya umur saja yang bertambah. Sungguh jika kamu ingin tahu hatiku kini milik siapa, jawabannya masih sama seperti dua tahun yang lalu. Rasa yang masih ada sampai saat ini kutaruh rapi di ruang hati pribadiku. Aku tau, pasti kamu tak menyangka bagaimana rasa ini bisa kupertahankan.
  
Aku selalu berharap cinta ini bisa berlabuh pada tempat muara yang tepat. Namun jarak telah terlebih dahulu menghalanginya. Terkadang aku hanya bisa mengutuk jarak yang hadir di antara kita. Kita bisa saja saling mencinta, jika jarak tak turut serta.
  
Aku selalu bertanya pada Tuhan. Mengapa jarak datang disaat aku mulai menyadari cinta ini begitu besar berkembang di hati? Mengapa Tuhan memisahkan aku dan  kamu disaat kita sebenarnya bisa saling bersama, saling bergandengan tangan. Membagi tawa bersama, aku ingin merasakan hari-hari bersamamu. Namun jarak dengan ganasnya merampas itu semua.
  
Akhirnya kuputuskan malam itu untuk tidak terlalu menggubris bbm darimu. Aku takut terlalu berharap akan sebuah pesan yang sebenarnya tidak begitu berarti bagimu. Aku berusaha membuat ekspektasi bahwa kamu hanya ingin terus menyambung silaturahmi denganku, tak lebih.
  
Dengan itu aku tak bisa terjebak di ruang pengharapan, yang kurasa sangat mustahil untuk terjadi. Jika tak ada keajaiban yang datang, maka itu tak akan pernah terkabulkan.
  
Sekuat hati ini kubiarkan rasa ini terus masuk ke lubang hati yang paling dalam. Kubiarkan rasa ini terus terpendam hingga masuk ke dasarnya. Tak ada yang bisa untuk merengutnya kembali. Kecuali satu, Tuhan. Aku yakin Tuhan akan memberikan waktu untuk rasa ini agar segera keluar dari persembunyiannya dan mampu menari terbang bersamamu disana.
  
Sungguh aku masih merindukanmu dan akan terus mencintaimu.


END

 

  Bandar Lampung, 19 April 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang mau disampaikan tinggalkan comment ya ^^ Thank you :)