source : here. |
Malam itu, tepatnya tanggal 15 April kamu kembali menghubungiku. Kamu memang tidak langsung menelponku, hanya mencoba mengirim pesan Blacberry Messenger (BBM) kepadaku. Setelah hampir setahun kita tak lagi saling berkomunikasi, malam itu kamu mencoba kembali merasuki celah-celah pikiranku. Otakku tak bisa dicegah untuk kembali mengingat semua tentangmu. Semua tentang kita.
Selama ini, selama kita
tak saling bertemu aku terus berusaha untuk melupakanmu. Pernah suatu kali aku delcont kamu dari kontak bbmku. Kenapa?
Agar aku bisa dengan leluasa menghilangkanmu di bayanganku. Namun tampaknya
kamu tak mengerti, kamu mencoba re-inviteku
kembali. Aku terima, agar tak ada prasangka buruk darimu.
Kukira dengan aku berusaha
untuk tidak lagi memedulikanmu, aku akan bisa menghilangkan semua jejak
tentangmu di memoriku. Namun ternyata prakiraanku salah. Malam itu jantungku entah
kenapa (masih) berdebar ketika kamu mencoba untuk menggodaku walaupun hanya
lewat kata.
Aku masih merasakan
degupan itu. Degupan yang kurasakan dua tahun lalu. Padahal kita tak pernah lagi
saling bertemu atau berkomunikasi via telepon. Tapi entah mengapa desiran itu
masih menjalar di tubuhku? Aku tak tau apa yang terjadi padaku, mengapa semua
hal tentangmu tiba-tiba membuncah begitu dahsyatnya di pikiranku?
Kepala dan hatiku
berkontraksi bgitu hebat. Aku memaksa otakku untuk kembali mengingat semua yang
pernah terjadi diantara kita. Yang paling kuingat, terakhir kali kita bertemu
itu pada tanggal 21 April 2012. Aku menghilang dari kehidupanmu begitupun
denganmu. Padahal belum sempat ku
menyadari rasa yang menjalar di suatu tempat, aku harus rela pergi
meninggalkanmu. Sungguh aku tak kuat dengan keterpisahan kita. Aku membawa
segudang pertanyaan untukmu. Aku pergi tanpa tahu waktu kembali.
***
Semuanya berawal pada
sore itu, ketika aku dan Steven sedang mengobrol seperti biasa di taman kota di
kota Layangan. Aku dan Steven sudah saling mengenal selama lebih dari tiga
tahun. Kami tak pernah mengalami percecokan yang begitu serius. Sifatku yang
senang dengan humor sedangkan sifatnya yang sabar membuatku senang berada di
sampingnya.
Langit sore kala itu sangat
indah, tidak terlalu panas ataupun mendung. Sejuk. Awan putih menutupi sebagian
langit biru yang sudah mulai luntur kebiruannya.
“Hmm... kamu ngerasain
gak akhir-akhir ini sikapku ke kamu berubah?”
Pembicaraan Steven sore
itu tiba-tiba saja tidak seperti biasanya. Aku menghirup udara yang berbeda
pertanyaanya.
“Hmm...gimana ya,
enggak juga ah” jawabku enteng.
“Masa iya, coba deh kamu
sadari apa yang akhir-akhir ini sering kulakukan,”
“Emang apa ya,” Aku
mencoba mengingat semua yang dilakukannya. Memang akhir-akhir ini dia begitu
perhatian padaku. “Hmm... iya sih, kamu kayaknya begitu care padaku,” ucapku seraya menatap matanya.
“Kamu tau apa
sebabnya?” Lagi-lagi dia kembali mengajukan pertanyaan kepadaku. Dia memasang
mimik muka yang serius. Melihat itu aku berusaha untuk menjawab pertanyaannya
dengan candaan seperti biasanya.
“Enggak
tau. Emang ada apa sih, Stev?”
Aku menatap bola
matanya, dan mengisyaratkan pada air mukaku bahwa ada rasa keingintahuan
disana. Aku penasaran.
“Karena... aku...
suka... kamu,” Steven menjawab keingintahuanku dengan sedikit gugup. Namun
tetap bola matanya menatap lekat bola mataku seakan mengatakan bahwa dia tidak
main-main dengan perkataanya.
Tiba-tiba saja
kurasakan waktu seperti berhenti. Darahku berhenti mengalir. Jantungku berdetak
tak menentu. Pandanganku kabur. Aku langsung memutar kepalaku mengarah ke
sekitar taman. Melihat pemandangan di sekitar taman.
Di depan kami tampak
anak-anak yang sedang asyik berlari-lari, dengan terlihat sesekali ibu-ibu
mengingatkan agar mereka dapat berhati-hati. Taman kota sore itu sudah mulai
ramai dengan pengunjung yang hendak menatap senja dari sana. Atau mungkin hanya
sekadar melepas penat dari pekerjaan yang tadi menggerogoti.
Aku mencoba mengatur
emosiku. Aku menarik nafas yang panjang. Kususun kata-kata yang hendak
kukeluarkan serapi mungkin.
“Tapi kenapa? Bukankah
kita sudah mengenal selama tiga tahun dan aku kira tidak ada rasa apa-apa di
antara kita. Kita berteman seperti selayaknya pertemanan yang terjadi,” kali
ini kurasa aku gugup, ucapanku bergetar hingga kutak sanggup menatap matanya.
“Iya, aku tahu. Tapi
entah kenapa setengah tahun belakangan ini aku merasa ada yang berbeda saat
kita tengah bersama. Aku begitu senang saat berada di dekatmu, aku bahagia
melihatmu, Sa. Bolehkan aku mencintaimu?”
Steven tak pernah
mengalihkan pandangannya dariku. Ia terus menatapku lekat sangat dalam.
Aku terdiam. Aku
bingung harus berkata apa. Aku kacau, sungguh. Semua kata yang kupersiapkan
buyar. Aku tak menyangka Steven akan mempunyai perasaan lebih kepadaku. Kukira
kami hanya berteman saja. Di tengah keheningan suasana, Steven kembali bersuara.
“Kamu gimana, Sa? Apa
kamu mempunyai perasaan yang sama kepadaku?” Steven tak lagi menatap mataku.
Dia mengalihkan pandangannya ke gerobak ketoprak di tepi taman yang dari tadi
terus ramai didatangi pembeli.
Jleb. Pertanyaaan
inilah yang aku bayangkan di keheningan tadi. Aku tak tau, aku harus
mengeluarkan kata apa. Kurasa aku kehilangan semua kosakata di otakku. Lidahku
begitu kelu, tak kuasa memikirkan apakah yang terjadi saat ini mimpi atau
nyata.
Sungguh, aku
didera rasa ketidakpercayaan yang luar biasa. Hingga akhirnya mulutku aku hanya
bisa mengucapkan kata yang kurasa telah melukai hatinya.
“Hmm.. gimana ya, Stev.
Sungguh kukira kita hanya berteman saja. Aku tak tahu ada perasaan khusus
darimu untukku. Sungguh aku tak tau.”
Itulah kalimat terakhir
yang mampu kuucapkan kepadanya. Setelah itu tidak ada lagi percakapan yang
terjadi. Aku diam, Steven pun diam. Tiba-tiba saja kami didera kecanggungan
yang luar biasa. Padahal biasanya ada saja yang bisa kami jadikan bahan lelucon.
Namun kali ini, kurasa tidak ada. Hati tak pantas untuk dijadikan bahan leluconan.
Kuputuskan saja untuk
pergi meninggalkannya di taman kota. Cahaya senja nan merah mulai muncul dari
peristirahatannya memulai kembali nya untuk menenangkan mengeluarkan pesona
istimewanya. Aku berjalan menjauhi Steven dengan rasa yang berkecamuk, rasa
yang tak mampu kutafsirkan. Tak ada kata yang terucap secara langsung untuk
menolak ataupun menerimanya.
Aku biarkan semua
perasaan aneh ini berjalan beriringan dengan berputarnya waktu. Hingga secara
tak sadar rasa istimewa kepadanya mulai tumbuh di lubuk hatiku. Aku tak tau
kenapa rasa ini bisa muncul. Namun aku berusahan untuk tidak menggubrisnya.
Sejak percakapan di
taman itu kami tak lagi seakrab dulu. Dia tampaknya menghindar dariku. Sungguh
aku sangat ingin mengobrol dengannya dan mengatakan bahwa rasa yang dulu dia
tanyakan kini telah menuai jawaban. Tapi aku tak kunjung menemukan waktu yang
tepat untuk mengutarakan semuanya. Sungguh kuingin mengatakan bahwa kini aku
juga mencintaimu. Entah pupuk apa yang mampu membuat perasaan ini tumbuh
berkembang dengan subur, hingga kurasa aku takut untuk kehilangannya.
***
To be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau ada yang mau disampaikan tinggalkan comment ya ^^ Thank you :)