15 November 2013

Arti Kesendirian

Sore itu aku kembali menyusuri jalan yang telah berulang kali kulalui. Gang kecil yang menjadi penghubung antara kampus dan kosan yang baru aku tempati sekitar tiga bulan yang lalu. Ya, aku baru saja pindah dari kosan yang dulunya terletak di perumahan mahasiswa "Kampung Baru". Alasanku untuk menginkan pindah kosan sangatlah banyak. 

Tempatnya yang lumayan jauh dari FMIPA temapatku menuntut ilmu. Aku menghabiskan waktu kira-kira 15 menit berjalan kaki dari kosan yang lama menuju tempat perkuliahan. Hal ini tentu saja sangat memberatkanku. Apalagi aku tak punya kendaraan semacam motor untuk dikendarai. Rutinitasku yang berawal dari pukul delapan pagi hingga pukul lima sore membuatku lelah ketika hendak balik ke kosan lagi. Apalagi dengan berjalan kaki.

Terkadang memang ada satu dua teman kelasku yang bersedia menjemput dan mengantarku menuju kampus atau kosan. Tapi itu tidak selalu. Aku rasanya juga segan jika terus-terusan meminta temanku untuk sekadar menjemputku ke kosan. Mungkin jika aku di posisi temanku itu aku akan mulai risih dengan permintaanku yang seakan menjadikannya sebagai 'ojek' pribadi.

Nah, karena memang alasan utama itulah aku pindah ke kosan yang sekarang ini. Namun ada beberapa alasan lain yang sengaja kusembunyikan kepada orang tuaku saat mereka bertanya perihal kepindahanku ke kosan yang baru. Ya, tentang penghuninya. Aku tak nyaman dengan teman-teman yang ada disana. Aku memang termasuk orang yang susah untuk bergaul. Aku tidak akan banyak berbincang dengan seseorang jika bukan dia yang memulai. Entah mengapa ini sudah menjadi kebiasaan jelekku saat pertama kali berkenalan dengan seseorang.

Sampai pada akhirnya aku jarang diikutsertakan dalam sebuah percakapan antar teman di sekitar kamarku itu. Mungkin mereka menganggapku sombong atau apalah. Tapi memang dari awal mereka seperti menghindar dariku. Aku juga tak bisa berbuat lebih. Aku hanya diam di kamar saat mereka sedang asyiknya bercanda gurau di depan kamar. Jujur, aku ingin sekali gabung, tapi aku sudah terlanjur seperti diriku sekarang, tertutup, pendiam, dan tak asik.

Hingga pada suatu ketika aku dengar bisikan-bisikan dari mereka yang sedang membicarakanku. Mereka mungkin tak tau bahwa aku mendengar semuanya. Sejak saat itu aku semakin tidak nyaman berada di kosan itu dan berharap di semester tiga nanti aku akan segera mencari kosan baru.
***

Awan gelap terhampar dengan luas dan jelas di tengah gemerisik angin yang sepertinya mencoba menyapaku perlahan. Beberapa pohon kelapa yang menjulang tinggi ikut tergoyang oleh angin yang semakin lama semakin kencang saja. Sepasang anak laki-laki tampak sedang asyik bermain bulutangkis saat aku hendak melewatinya.

Aku selalu mendadak grogi ketika melewati beberapa deretan kosan ini. Kosan yang hanya berisi kaum laki-laki saja dan seperti biasa kalau sore hari mereka selalu berada diluar.  Aku terlalu lebay memang saat menghadapi hal yang jarang aku temui. Mungkin mereka hanya sekedar bersantai diluar melepas kepenatan setelah seharian berada dalam rutinitas kampus.

Sama halnya dengan diriku. Aku berjalan lunglai menyusuri jalan di belakang kampusku itu. Aku sangat lelah saat ini. Bahkan rapat yang seharusnya kuhadiri sore ini aku lewatkan begitu saja tanpa mengabari teman disana. Aku terus berjalan sendiri diiringi bayang-bayang masa lalu hingga kejadian yang kini sedang kualami. 

Sendiri. Ya, aku sudah tak asing lagi mendengar kata itu. Sendiri sudah menjadi makananku beberapa tahun terakhir ini. Sunyi, sepi, sendiri. Kerap kali hal semacam ini aku rasakan di sepanjang waktu. Aku sudah terbiasa sendiri, hingga mungkin aku sudah lupa bagaimana rasanya kebersamaan. Hingga pada saat ini aku yang sudah berada di tempat baru tetap merasa seperti dulu, sendiri dan sepi.

Apakah kesendirian itu menakutkan? Bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa sendiri itu kebahagiaan atau malah sebaliknya. Semenjak ruh ditiupkan ke raga ini kita sudah diajarkan bagaimana rasanya sendiri. Sendiri di dalam kandungan bunda, sendiri ketika dilahirkan ke bumi hingga pada nantinya setiap manusia meninggal dalam keadaan sendirian.

Jadi apa yang kita takutkan pada 'kesendirian'?. Disaat semesta sedang tak berpihak pada kita, yang kita butuhkan hanya satu yaitu sendiri. Ketika sendiri kita bisa berintropeksi, sendiri juga bisa membuat kita berkreasi atau mungkin juga berproduksi dan berinovasi dalam arti kata menemukan sesuatu yang baru lagi bermanfaat untuk diri sendiri ataupun orang lain.

Bukankah banyak karya atau ide brilian bermunculan dari manusia-manusia yang hari-harinya dirudung rasa sepi sendiri?

Disaat tak ada lagi kawan tempat bercerita, disaat itulah kamu menjadi begitu menghargai hidupmu. Sendiri berarti berlatih. Berlatih untuk menjadi baik untuk hari selanjutnya hingga berlatih untuk menghadapi kenyataan bahwa suatu saat kita akan sendiri di dalam tanah yang gelap gulita.

Entahlah, sepertinya aku sedang mencoba menghibur diri sendiri yang tengah dirudung sepi.
Aku memang orang yang tak pintar bergaul, namun bukan berarti aku tidak suka kebersamaan. Hati kecilku sering memberontak ketika melihat segerombolan yang sepertinya bersahabat sedang bersenda gurau. Jujur, aku iri dengan mereka yang punya banyak teman untuk berbagi banyak hal. Aku iri melihat mereka yang setiap di rudung masalah bisa meluapkannya pada seseorang yang ia sebut sahabat. Aku bahkan juga iri pada mereka yang hari-harinya dipenuhi kasih sayang dari sang dambaan hati.

Aku memang sedang mencoba menerima kenyataan bahwa kini semesta menghendaki hidupku sendiri dulu. Dalam waktu yang tidak aku ketahui. Jika hidup ini bisa kuatur seperti halnya aku mengatur ending dari cerpen yang kutulis, aku akan memilih hidup yang selalu menyenangkan. Tanpa kesendian, kesunyian, kesenyapan yang pada nyatanya kualami. 

Iklan reklame salah satu merk kopi yang sering aku lihat di tv seakan bisa menjadi alternatifku untuk mengatasi rasa kesendirian ini. "Anak gaul gak pernah sendirian". Apa aku harus menjadi gaul dulu agar hidupku tak sendiri? Entahlah.

Hmm, aku tak tau kemana arus hidup ini akan bermuara dan berhenti dimana. Setiap saat aku selalu merenungi arti kesendirian yang Tuhan beri untukku. Aku tahu dan aku yakin Tuhan merencanakan semua ini bukanlah tanpa alasan. Akan tiba suatu saat masanya aku akan meraih semua yang aku inginkan. Bukankah seseorang yang bahagia itu tidak merasakan kebahagiaan sebelum ia mencoba pahitnya dulu?

Aku akan mencoba ikhlas dan menerima kenyataan ini bahwa hidupku memang sepatutnya seperti ini. Tanpa siapa-siapa hanya ada Tuhan dan aku. Dan kelak aku juga akan kembali bersama Tuhanku. Hingga pada akhirnya aku memahami makna dari kesendirian ini. Secara perlahan aku pasrah untuk menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi tanpa ada satupun yang aku takutkan kecuali Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang mau disampaikan tinggalkan comment ya ^^ Thank you :)