Angin malam membelai lembut
wajahku. Dari kejauhan sorot lampu jalanan terlihat indah berkerlap-kerlip
dengan warna yang berkilauan. Berbagai kendaraan baik itu mobil ataupun sepeda
motor saling bersahutan seakan tidak ada ruang bagi mereka untuk mengalah. Semua
pada egonya masing-masing, suara klakson mereka seakan berkata; aku benar,
karena aku memiliki urusan paling penting.
Malam ini, bintang-bintang
tampaknya enggan menunjukkan kemilaunya. Begitupun dengan bulan, sepertinya juga
mengikuti apa yang dilakukan sejawatnya. Malam semakin larut, namun semakin
pekat hitamnya malam, kuantitas orang disini semakin ramai. Aku dalam duniaku,
masih asyik menikmati suasana malam, ditemani dengan satu gelas caramel coffe dingin dan satu macam roti
croissant cokelat. Dan tak lupa barang yang tak bisa lepas dariku barang
seharipun, laptop kesayangan.
Malam ini aku kembali melakukan
rutinitas di malam minggu yang hampir tidak pernah terlewatkan. Tak seperti
kebanyakan muda mudi lain yang menjalani ritual berduaan dengan sang kekasih di
malam minggu, aku lebih senang berdiam diri di kafe kopi ini. Terletak di dalam
salah satu mall yang baru selesai dibangun di Kota Bandar Lampung, menurutku
kafe ini berada di posisi strategis.
Kafe kopi ini memiliki dua jenis
ruangan yang berbeda. Pertama, ruangan tertutup yang di dalamnya dilengkapi
dengan pendingin ruangan (AC), namun tidak menghadap langsung ke jalanan.
Sedangkan ruangan di sebelahnya tidak memiliki pendingin ruangan (AC), namun
berhadapan langsung dengan jalanan dan juga sedikit terbuka sehingga angin
malam dengan leluasanya menyapa setiap pengunjung. Tempat favoritku berada di
ruangan kedua karena aku suka sentuhan angin malam.
Sudah hampir satu jam aku berada
disini, hanya menatap layar monitor laptop yang berada di depanku. Saking
fokusnya menatap layar, aku tidak memperhatikan seseorang mencuri pandang
kepadaku sedari tadi. Mungkin sudah agak lama, atau baru saja, entahlah aku
baru menyadarinya ketika meregangkan pinggangku ke kanan dan tatapan kami
bertemu. Dia gelalapan, spontan memalingkan mata ke arah berbeda.
Dari sudut pandangku, aku dapat
melihatnya samar-samar. Berpenampilan cukup modis, dengan mengenakan jaket
hitam ditemani dengan seorang pria yang mungkin adalah temannya. Aku berusaha
kembali fokus pada laptopku, saat perlahan terdengar langkah kaki seseorang
mendekat. Aku sudah menebak siapa yang akan menghampiriku. Saat aku memalingkan
wajah dari laptop, seseorang tersebut sudah berada di depanku. Namun dugaanku
ternyata salah, bukan dia orangnya, melainkan orang yang duduk di sebelahnya.
“Halo, gue rangga. Boleh duduk
disini?” ucapnya dengan tenang.
“Hmm, boleh-boleh,” jawabku canggung.
“Jadi gini temen gue pengen
kenalan sama lo tapi dia malu dan gak berani ketemu langsung sama lo,” katanya
sembari melihat ke arah teman yang sedang dibicarakannya.
Aku melihat sekilas ke arahnya
yang lagi-lagi langsung membuang muka dan pura-pura sibuk dengan handphonenya.
“Iya, terus?” tanyaku bingung.
“Nama lo siapa boleh minta nomer
kontak lo gak, kasian temen gue jomblonya kelamaan,” ucapnya sambil tertawa.
“Hmm, gimana ya,”
Aku bingung dan tak bisa berpikir
jernih. Dalam keadaan bingung yang bercampur aduk, aku tak menyadari bahwa aku
telah menyebutkan namaku dan nomor handphone. Dalam benakku hanya ada pikiran
bagaimana agar orang di depanku ini segera pergi.
“Oke, makasih ya Juli. Maaf
mengganggu,” katanya seraya meninggalkanku yang menggugu.
***
Begitulah awal mula bagaimana aku
dan Okto bertemu dan kemudian berkenalan lebih lanjut. Sehari setelah kejadian
malam itu, lelaki yang kemudian kuketahui bernama Okto itu menghubungiku via
sms. Awalnya dia mengirimiku pesan basa-basi dan sedikit tanya jawab dengan
diri pribadi. Namun selang beberapa hari, dia memberanikan diri untuk
menghubungiku via telepon.
Hubungan kami semakin lama
semakin dekat. Aku senang mengobrol dengannya. Caranya berbicara, caranya
mendengarkan membuatku nyaman berhubungan dengannya. Pada suatu kesempatan dia
mengajakku bertemu di tempat pertama kali dia melihatku, di kafe favoritku.
“Jul, besok ada waktu gak?” Okto
bertanya pada suatu percakapan di telepon.
“Ada, emang kenapa?” tanyaku.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarain
langsung ke kamu. Besok kita ketemu di kafe kopi starock ya..,” ucapnya seperti
menahan sesuatu untuk disampaikan.
Setelah menerima panggilan
tersebut perasaanku menjadi tidak enak. Ada sesuatu yang menjanggal dari ucapannya,
intonasi bicara Okto kali ini berbeda dari biasanya. Diam-diam hati kecilku
takut akan sesuatu yang bahkan belum pernah terjadi.
*BERSAMBUNG*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kalau ada yang mau disampaikan tinggalkan comment ya ^^ Thank you :)