21 Agustus 2014

Lenyap

Aku tak tau harus dimulai dari mana semua cerita ini. Aku juga tak tau apakah rasa ini salah jika tak mau pergi menjauh. Semua kegembiraan dan kekecewaan menyatu menjadi satu menghasilkan perasaan tak karuan. Perasaan ingin marah pada keadaan dan waktu. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika semuanya sudah hilang menguap ke langit bebas hingga tak saupun yang tertinggal.

Semuanya berawal dari rasa itu. Rasa yang muncul tanpa dia sadari. Semakin lama semakin bertumbuh hingga aku tak bisa mengendalikannya. Aku memang gadis biasa yang tak punya kelebihan apa-apa. Bahkan terkadang akupun bingung apakah aku masih mempunyai rasa. Tapi semua berubah sejak kau menyatakan semua.

Aku seperti diberi sesuatu yang luar biasa indahnya setelah bertahun-tahun tak pernah kurasa. Kau datang membawaku menjadi seorang gadis yang sangat bahagia. Tapi itu tak berlangsung lama. Waktu kian mendekat, jarak kian membentang. Aku harus mengakui ini semua merupakan kenyataan terburuk yang pernah terjadi. Ketika rasa itu mulai mekar, aku malah harus pergi menjauh.

Ini semua bukanlah mauku. Takdirlah yang patut disalahkan. Mengapa ia datang disaat terakhir aku bisa menatapmu. Hingga hari perpisahan itu datang, kau masih tak kunjung tau bagaimana hatiku kepadamu. Aku berusaha membuang semuanya jauh-jauh, mengganggap itu tak pernah terjadi. Tapi itu tak pernah bisa. 

Aku pergi dan tak tau kapan bisa kembali. Kau kembali hadir di tengah kekosongan hariku. Kau seperti memberiku sebuah harapan. Kau menunjukkan bahwa jarak tak bisa menjadi hambatan hati kita. Aku yang tak bisa menahannya menerima semua itu. Aku mencoba, dan kaupun mencoba. Tapi kita tetap tidak bisa. Kita tetap mengakhirnya, jarak memang telah kejam kepada kita.

Sejak kejadian itu kau tak pernah ada dalam hidupku lagi, dalam waktu yang cukup lama. Aku selalu berusaha untuk menghapus semua ingatan tentangmu. Tapi lagi-lagi disaat aku sepi, disaat aku merasa sendiri, aku selalu mengingatmu. Dan mungkin kau tak tau, tak akan pernah tau. Aku tak apa, dengan hanya mengenangmu, mengenang hati kita, aku sudah merasa bahagia. Aku merasa kita bersama.

Aku terkadang mengutuk jarak dan keadaan. Seandainya ia tak pernah ikut campur dengan perasaan kita mungkin kau dan aku bisa bersama. Namun semua itu sepertinya tak bisa terjadi. Takdir telah tergariskan untuk kita. Rasa itu mau tak mau memang harus pergi meninggalkan kita sendiri-sendiri.

Tak terasa waktu terus berlari meninggalkan aku dan hatiku yang tak tau rimbanya seperti apa. Disaat aku tak lagi berharap, kau kembali datang. Memporakporandakan benteng pertahanan yang sedari dulu berusahan untuk kubangun. Dengan sedikit goyangan saja aku runtuh, hatiku luluh. Entahlah, mungkin kau tak pernah merasa sedalam apa hatiku yang sebenarnya yang. Aku ataupun kau berusaha berbicara sebiasa mungkin, dengan menganggap semua telah usai, semua hanya masa lalu.

Tapi kau lagi-lagi membuatku tak bisa mengganggap semuanya telah usai. Kau menunjukkan bahwa ingin sekali melihat kepulanganku. Diam-diam malam itu aku membuat suatu rencana, dalam hatiku yang paling dalam aku akan menemuimu. Hingga hari itu tiba, kita bertemu secara nyata. Tidak lewat mimpi ataupun khayalan bahkan dunia maya. Kita benar-benar bertemu.

Sungguh, jika kau tau, aku sangat deg-degan. Belum lagi dekat aku sudah mempersiapkan senyum termanis untukmu. Aku mencari-cari sosokmu. Dan ya, aku langsung melihatmu. Dari kejauhan aku memperhatikanmu. Aku memperhatikanmu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah sekian lama tak pernah melihatmu, ternyata tak banyak perubahan terjadi. Fisikmu tetap seperti dulu.

Aku menunggu, aku menunggu kau menyapaku. Dan itu terjadi. Kau menyalamiku tanpa berucap apa-apa. Dan pergi.

Tapi kenapa?
Kenapa kau tak mengucap sepatah katapun kepadaku?
Apakah kau tak rindu?
Kenapa kau biasa saja berkata "hai", lalu pergi begitu saja?
Apakah kau tak menghargai pertemuan ini?
Apakah kau tau aku berharap dengan sangat kita bisa berbincang barang sedikit saja?
Aku benar-benar tak mengerti.

Bukankah kau sangat mengharapkanku pulang? 
Tapi kenapa kau menganggapku biasa saja, bahkan seperti mengganggapku tak ada.
Persetan dengan semua perasaan ini.
Aku sungguh tak habis pikir padamu.

Mungkin aku yang terlalu bodoh, menyangka kau benar-benar mengharapkan kehadiranku.
Tapi kenyataan memang selalu kejam.
Padahal jelas-jelas kau di sampingku, dan menolehpun kau tak mau.
Aku memang tak pernah ada lagi di hatimu, bahkan secuilpun tak ada.

Tak tahukah kau aku sungguh mengharapkan kita dapat berbicara.
Walaupun kutahu kau sekarang menjadi orang yang sangat penting.
Tak bisa diam, dan selalu berkeliaran.
Tapi tak bisakah kau bertanya keadaan kepadaku?
Jadi apa maksud semua yang kautanyakan kemarin?

Entahlah mungkin memang aku saja yang terlalu berlebihan.
Menganggap semua yang kaukatakan tulus dari hatimu.
Tapi kenyataan tlah menjawab.
Kau memang tak bisa menghargai, bahkan ketika pertemuan itu begitu berharga.
Kau tetap tak bisa menghargai.

Darimu, aku menjadi tau memang tak enak menyimpan harapan besar.
Sungguh, jika itu tak terjadi sakitnya luar biasa. 
Namun dari pertemuan itu aku menjadi tau semuanya.
Aku tak akan lagi menyimpan rasa itu.
Akan kubuang sejauh mungkin dan kukubur sedalam-dalamnya.
Terima kasih telah membuatku diam-diam membuat harapan.
Harapan palsu darimu.

Kini aku bisa dengan tenang melenyapkanmu dari hidupku.
Aku bisa dengan tenang menghapus kenangan itu.
Aku menjadi bisa melepaskanmu dengan tenang.

Selamat tinggal, masa lalu. Terima kasih telah mau menjadi masa laluku. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau ada yang mau disampaikan tinggalkan comment ya ^^ Thank you :)